Minggu, 03 Mei 2009

Anak berbicara
Dibutuhkan waktu yang sangat lama agar seorang anak bisa menggunakan beberapa kata "konsep" dengan cara seperti "orang dewasa".
Kelima pasangan kalimat berikut ini menggunakan kata-kata sederhana betul, kapan, sampai/ datang, dan main dalam dua pengertian yang berbeda. Seorang anak kecil mungkin tidak akan ragu-ragu mengenali salah satu kalimat dari setiap pasangan kalimat tersebut sebagai sesuatu yang diucapkannya, sementara yang lain tidak. Ini bukan karena isi ucapan itu secara keseluruhan. Namun, itu karena makna kata-kata tersebut yang digunakan dalam kalimat. Seorang anak mungkin menggunakan kata-kata ini ketika masih kecil, tetapi kata-kata ini hanya digunakan dengan makna tertentu. Makna-makna lainnya baru dikuasainya nanti, dan member! kesan anak yang sudah lebih pandai sebagai orang dewasa.
Mana dari dua penggunaan ini, A atau B, yang tidak umum digunakan anak kecil?
1. A. Andi betul-betul tak tahu diri.
B. Betul, aku yang memakan kue itu.
2. A. Kapan Ayah pulang?
B. Aku akan ke rumahmu kapan-kapan.
3. A. Harganya tidak sampai seribu rupiah.
B. Akhirnya, kami sampai di kebun binatang

4. A. Hari ini dia tidak datang ke sekolah.
B. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa datang
.
5. A. Kalau sudah marah, dia suka main pukul saja.
B. Di sini tempat orang main bola.















JAWABAN:
A , B, A, B, A
Wanita lebih "seimbang" di bidang bahasa daripada pria
Berbagai argumen mengenai sumber perbedaan gender pada perilaku dan kinerja manusia sering terlalu disederhanakan dalam pembagian antara jalur "bawaan" vs. "lingkungan": apakah pria berasal dari Mars dan wanita dari Venus sebab mereka diciptakan secara berbeda, atau karena masyarakat telah menjadikan mereka begitu? .
Seperti dalam banyak hal, jawaban yang benar ada di tengah-tengah antara keduanya. Sementara banyak perbedaan gender ditentukan oleh budaya, semakin banyak kita belajar tentang struktur dan mekanisme otak manusia, semakin banyak bukti yang kita temukan bahwa sebagian perbedaan ini punya landasan biologis bawaan.
Kini sudah menjadi pengetahuan umum bahwa "area bahasa" otak terletak di belahan kiri. Sebuah penelitian yang dilakukan belum lama ini menunjukkan bahwa ini mungkin lebih tepat diterapkan untuk pria daripada wanita. Ketika pria mengerjakan tugas memecah kata-kata menjadi suara-suara tersendiri yang berbeda-beda, mereka sangat bergantung pada sisi kiri inferior frontal gyrus (girus depan inferior), yaitu area otak yang telah lama diketahui sebagai area khusus bahasa. Jika wanita mengerjakan tugas linguistik yang sama, mereka menggunakan kedua sisi otak secara sama banyaknya.
Penemuan penting ini dimungkinkan oleh adanya perkembangan teknologi baru yang dinamakan pencitraan resonansi magnetis fungsional (MRI, magnetic resonance imaging), yang memberikan gambaran visual tentang bagian-bagian otak yang menjadi aktif saat mengerjakan suatu tugas tertentu.
Untuk eksperimen ini, 19 pria dan 19 wanita tidak-kidal diberi tugas menilai-sajak, yang mengharuskan subjek untuk menentukan apakah dua kata yang tidak punya makna itu bersajak atau tidak. Karena kata-kata tak bermakna itu disajikan dalam bentuk tulisan, tugas tersebut membutuhkan pemrosesan visual dan ortografis (pengenalan huruf) serta pemetaan urutan huruf menjadi representasi fonologis (suara). Mereka juga diberi tugas untuk menilai apakah dua perangkat rangkaian huruf menunjukkan pola alternasi huruf kecil-huruf besar atau tidak.
Setiap kali wilayah-wilayah otak diaktifkan agar dua tugas itu tidak saling tumpang-tindih, wilayah-wilayah sisanya dikenali sebagai area-area yang bertanggung jawab untuk pemrosesan fonologis saja. Sementara pria menunjukkan rasio 11,7:5 aktivasi otak kiri-kanan di wilayah ini, rasio wanita terbagi relatif sama 9,4:12.

Suatu area bahasa yang barU

Suatu area bahasa yang barU

Area-area yang ditemukan oleh Broca dan Wernicke lebih dari seratus tahun yang lalu sebagai area yang sangat penting bagi bahasa terletak di sepanjang fisura .silvian belahan kiri—belahan yang membagi cuping temporal dari seluruh bagian korteks lainnya. Sejak itu, para ahli neurologi berasumsi bahwa semua area bahasa yang kritis di dalam otak—dengan perkecualian fungsi-fungsi yang
berkaitan dengan wacana yang baru saja disebutkan di atas—pasti berada di wilayah otak yang sama.
Penelitian baru yang dilakukan dengan bantuan citra CAT dan MRI telah mengungkapkan struktur yang sama sekali baru di dalam otak yang bertanggung jawab atas artikulasi percakapan. Wilayah itu, yang dinamakan insula, terletak di bawah cuping temporal dan cuping depan pada korteks kiri. Sebelumnya, insula dianggap bertanggung jawab terutama pada pemrosesan rasa, bau, penglihatan, dan suara pada manusia dan monyet.
Jika satu bagian tertentu monyet insula mengalami kerusakan, akibatnya timbul masalah yang dinamakan apraksia. Penderita apraksia kesulitan untuk memanipulasi susunan otot pembicaraan dalam urutan yang tepat dan dengan penetapan waktu yang tepat pula. Mereka akan mencari-cari urutan bunyi yang benar, kadang-kadang bahkan membetulkannya sekali tetapi kemudian tidak dapat melakukannya lagi.
Apraksia mudah dikacaukan dengan afasia Broca sebab kedua cacat itu menunjukkan dirinya dalam bentuk pembicaraan yang pelan dan susah payah, kesalahan artikulasi, dan penyampaian yang monoton. Namun, apraksia tidak mengandung ciri-ciri afasia Broca, yaitu agramatis (nongramatis). Apraksia mungkin juga dianggap menyerupai afasia Wernicke, yang juga melibatkan pemutarbalikan suara dalam kata-kata. Namun, tidak seperti afasia Wernicke, penderita apraksia tidak kesulitan untuk menemukan kata yang tepat atau dengan persepsi- atau pemahaman kata. Sebaliknya, kemampuan penderita apraksia mengenai kata-kata dan suara pembicaraan tetap normal sepenuhnya dan mereka benar-benar sadar akan artikulasi indra mereka sendiri—yang merupakan sumber frustrasi yang sangat besar.

Kamis, 30 April 2009

BAHASA GAUL

1.Apakah bahasa gaul salah? Bahasa gaul yang dipakai di kalangan remaja tidak salah. Sebab, semua bahasa yang hidup, termasuk bahasa Indonesia, selalu berkembang sesuai dengan perkembangan dan keperluan pemakaiannya. Bagi kalangan remaja, bahasa gaul dianggap bahasa (sebagai alat komunikasi) yang dapat mewakili keperluan ekspresi dengan sesama dan dapat menunjukkan jati dirinya lewat istilah-istilah khas yang mereka gunakan. Dilihat dari sosok ideal bahasa Indonesia, bahasa gaul dinilai pembina bahasa Indonesia (khususnya guru) dan tatabahasaan sebagai bahasa yang menyimpang karena akan mengarah ke perkembangan bahasa Indonesia secara divergen. Keresahan ini tidak perlu terjadi apabila pembina bahasa menyadari bahasa gaul tidak akan berinterferensi ke ranah pemakaian bahasa yang lain. Ketika keluar dari komunitas remaja, mereka (pemakai bahasa gaul) tidak akan lagi menggunakan bahasa gaul. Mereka akan berkomunikasi dengan bahasa Indonesia sesuai dengan komunitas barunya
2.Apakah kita selalu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam setiap situasi? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut perlu dijelaskan terlebih dahulu tenang istilah “bahasa Indonesia yang baik dan benar “. “Bahasa Indonesia yang baik” adalah pemakaian bahasa Indonesia yang sesuai dengan konteks situsi dan kondisi; sedangkan “bahasa Indonesia yang benar” adalah pemakaian bahasa Indonesia yang sesuai dengan kaidah. Kedua hal ini tidak dapat dipisahkan. Bahasa Indonesia yang dipakai sesuai dengan konteks tetapi tidak sesuai dengan kaidah akan berdampak tidak atau kurang dipahami maksudnya. Sementara itu, bahasa Idonenesia yang dipakai sesuai dengan kaidah tetapi tidak sesuai dengan konteks akan terlihat janggal dan lucu. Ilustrasi berikut dapat memperjelas fenomena di atas. Suatu pagi dua anak kos sekamar yang sudah akrab bersiap-siap berangkat kuliah. Si A masuk ke kamar mandi terlebih dahulu. Karena lama di kamar mandi, Si B mengikatkannya agar cepat-cepat keluar dari kamar mandi sebab jam kuliah tinggal sepuluh menit. Apalagi, si B juga belum mandi. Apakah si B mengungkapnya dengan kalimat “Mas, cepat-cepat keluarlah dari kamar mandi agar tidak terlambat kuliah!” (sambil mengetuk pintu kamar mandi tiga kali). Kalimat tersebut benar secara kaidah tetapi kaku secara konteks. Yang baik dan tidak menyalahi kaidah adalah “Cepat keluar, Mas! Nanti terlambat!”
3.Apakah bahasa Indonesia yang baik dan benar melingkupi bahasa Indonesia zaman dulu (yang belum disempurnakan) dan bahasa Indonesia sekaragn (sesuai dengan EYD)? Pertanyaan ini mencampuradukkan antara konsep bahasa Indonesia yang baik dan benar dan konsep EYD. EYD (Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan) adalah pedoman atau aturan penulisan yang harus disepakati dalam tulis-menulis bahasa Indonesia. Jadi, bersifat instruksi. Oleh karena itu, ada SK-nya dari Pemerintah. Sebagai kelengkapannya, Pemerintah juga mengeluarkan Pedoman Penulisan Istilah. Kedua pedoman ini mestinya (bahkan harus) dipatuhi pemakai bahasa Indonesia agar komunikasi dapat berlangsung secara efektif.Terkait dengan EYD (dan juga penulisan istilah) ini harus diterapkan secara benar. Tidak ada hubungannya dengan bahasa Indonesia lama atau baru. Misalnya, kalau ejaan lama frase “di kelas” ditulis gandeng dikelas, maka sekarang harus ditulis di kelas (terpisah); istilah asing “object” pada ejaan lama ditulis obyek, ejaan baru harus ditulis objek.Saat ini yang justru menjadi masalah adalah penulisan istilah asing yang sering salah. Pemakai bahasa Indonesia masih saja menulis sistim, kwitansi, apotik, standarisasi, legalisir, jadual padahal yang benar sesuai dengan Pedoman Istilah adalah sistem, kuitansi, apotek, standardisasi, legalisisasi, jadwal.Demikian penjelasan yang dapat saya sampaikan. Semoga ada manfaatnya. Mari kita bersikap positif terhadap bahasa Indonesia. Jadikan bahasa Indonesia berkembang secara konvergen lewat pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Perbedaan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional dan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara/Resmi

Perbedaan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional dan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara/Resmi
Perbedaan dari Segi Ujudnya

Apabila kita mendengarkan pidato sambutan Menteri Sosial dalm rangka peringatan Hari Hak-hak Asasi Manusia dan pidato sambutan Menteri Muda Usaha wanita dalam rangka peringatan Hari Ibu, misalnya, tentunya kita tidak menjumpai kalimat-kalimat yang semacam ini.
“Sodara-sodara! Ini hari adalah hari yang bersejarah. Sampeyan tentunya udah tau, bukan? Kalau kagak tau yang kebacut, gitu aja”.
Kalimat yang semacam itu juga tidak pernah kita jumpai pada waktu kita membaca surat-surat dinas, dokumen-dokumen resmi, dan peraturan-peraturan pemerintah.
Di sisi lain, pada waktu kita berkenalan dengan seseorang yang berasal dari daerah atau suku yang berbeda, pernahkah kita memakai kata-kata seperti ‘kepingin’, ‘paling banter’, ‘kesusu’ dan ‘mblayu’? Apabila kita menginginkan tercapainya tujuan komunikasi, kita tidak akan menggunakan kata-kata yang tidak akan dimengerti oleh lawan bicara kita sebagaimana contoh di atas. Kita juga tidak akan menggunakan struktur-struktur kalimat yang membuat mereka kurang memahami maksudnya.
Yang menjadi masalah sekarang ialah apakah ada perbedan ujud antara bahasa Indonesia sebagai bahasa negara/resmi sebagaimana yang kita dengar dan kita baca pada contoh di atas, dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, sebagaimana yang pernah juga kita lakukan pada saat berkenalan dengan seeorang lain daerah atau lain suku? Perbedaan secara khusus memang ada, misalnya penggunaan kosakata dan istilah. Hal ini disebabkan oleh lapangan pembicaraannya berbeda. Dalam lapangan politik diperlukan kosakata tertentu yang berbeda dengan kosakata yang diperlukan dalam lapangan administrasi. Begitu juga dalam lapangan ekonomi, sosial, dan yang lain-lain. Akan tetapi, secara umum terdapat kesamaan. Semuanya menggunakan bahasa yang berciri baku. Dalam lapangan dan situasi di atas tidak pernah digunakan, misalnya, struktur kata ‘kasih tahu’ (untuk memberitahukan), ‘bikin bersih’ (untuk membersihkan), ‘dia orang’ (untuk mereka), ‘dia punya harga’ (untuk harganya), dan kata ‘situ’ (untukSaudara, Anda, dan sebagainya), ‘kenapa’ (untuk mengapa), ‘bilang’ (untuk mengatakan), ‘nggak’ (untuk tidak), ‘gini’ (untuk begini), dan kata-kata lain yang dianggap kurang atau tidak baku.

Perbedaan dari Proses Terbentuknya
Secara implisit, perbedaan dilihat dari proses terbentuknya antara kedua kedudukan bahasa Indonesia, sebagai bahasa negara dan nasional, sebenarnya sudah terlihat di dalam uraian pada butir 1.2 dan 1.3. Akan tetapi, untuk mempertajamnya dapat ditelaah hal berikut.
Sudah kita pahami pada uraian terdahulu bahwa latar belakang timbulnya kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara jelas-jelas berbeda. Adanya kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional didorong oleh rasa persatuan bangsa Indonesia pada waktu itu. Putra-putraIndonesia sadar bahwa persatuan merupakan sesuatu yang mutlk untuk mewujudkan suatu kekuatan. Semboyan “Bersatu kita teguh bercerai kta runtuh” benar-benar diresapi oleh mereka. Mereka juga sadar bahwa untuk mewujudkan persatuan perlu adanya saran yang menunjangnya. Dari sekian sarana penentu, yang tidak kalah pentingnya adalah srana komunikasi yang disebut bahasa. Dengan pertimbangan kesejarahan dan kondisi bahasa Indonesia yang lingua franca itu, maka ditentukanlah ia sebagai bahasa nasional.
Berbeda halnya dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara/resmi. Terbentuknya bahasa Indonesia sebagai bahasa negara/resmi dilatarbelakangi oleh kondisi bahasa Indonesia itu sendiri yang secara geografis menyebar pemakiannya ke hampir seluruh wilayah Indonesia dan dikuasai oleh sebagian besar penduduknya. Di samping itu, pada saat itu bahasa Indonesia telah disepakati oleh pemakainya sebagai bahasa pemersatu bangsa, sehingga pada saat ditentukannya sebagai bahasa negara/resmi, seluruh pemakai bahasa Indonesia yang sekaligus sebagai penduduk Indonesia itu menerimanya dengan suara bulat.
Dengan demikian jelaslah bahwa dualisme kedudukan bahasa Indonesia tersebut dilatarbelakangi oleh proses pembentukan yang berbeda.
Perbedaan dari Segi Fungsinya
Setelah kita menelaah uraian terdahulu, kita mengetahui bahwa fungsi kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional berbeda sekali dengan fungsi kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Perbedan itu terlihat pada wilayah pemakaian dan tanggung jawab kita terhadap pemakaian fungsi itu. Kapan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara/resmi dipakai, kiranya sudah kita ketahui.
Yang menjadi masalah kita adalah perbedaan sehubungan dengn tanggung jawab kita terhadp pemakaian fungsi-fungsi itu. Apabila kita menggunakan bahasa Indonesia sebagai fungsi tertentu, terdapat kaitan apa dengan kita? Kita berperan sebagai apa sehingga kita berkewajiban moralmenggunakan bahasa Indonesia sebagai fungsi tertentu? Jawaban atas pertanyaan itulah yng membedakan tanggung jawab kita terhadap pemakaian fungsi-fungsi bahasa Indonesia baik dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional maupun sebagai bahasa negara/resmi.
Kita menggunakan sebagai bahasa negara/resmi dipakai sebagai alat penghubung antarsuku, misalnya, karena kita sebagai bangsa Indonesia yang hidup di wilayah tanah airIndonesia. Sehubungan dengan itu, apabila ada orang yang berbangsa lain yang menetap di wilayah Indonesia dan mahir berbahasa Indonesia, dia tidak mempunyai tanggung jawab moral untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai fungsi tersebut.
Lain halnya dengan contoh berikut ini. Walaupun Ton Sin Hwan keturunan Cina, tetapi karena dia warga negaraIndonesia dan secara kebetulan menjabat sebagai Ketua Lembaga Bantuan Hukum, maka pada saat dia memberikan penataran kepada anggotnyan berkewajiban moral untuk menggunakan bahasa Indonesia. Tidak perduli apakah dia lancar berbahasa Indonesia atau tidak. Tidak perduli apakah semua pengikutnya keturunan Cina yang berwarga negaraIndonesia ataukah tidak.
Jadi seseorang menggunakan bahasa Indonesia sebagai penghubung antarsuku, karena dia berbangsa Indonesia yang menetap di wilayah Indonesia; sedangkan seseorang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, karena dia sebagai warga negara Indonesia yang menjalankan tugas-tugas ‘pembangunan’ Indonesia.

HIDUP..........................

AKU INGIN MENDAKI PUNCAK TANTANGAN, MENERJANG BATU GRANIT KESULITAN, MENGGODA MARA BAHAYA, DAN MEMECAHKAN MASALAH DENGAN SAINS. AKU INGIN MENGHIRUP BERUPA-RUPA PENGALAMAN LALU TERJUN BEBAS MENYELAMI LABIRIN LIKA-LIKU HIDUP YANG UJUNGNYA TAK DAPAT DISANGKA. AKU MENDAMBA KEHIDUPAN DENGAN KEMUNGKINAN-KEMUNGKINAN YANG BEREAKSI SATU SAMA LAIN SEPERTI BENTURAN MOLEKUL URANIUM; MELETUP TAK TERDUGA-DUGA, MENYERAP, MENGIKAT, MENGGANDA, BERKEMBANG, TERURAI, DAN BERPENCAR KE ARAH YANG MENGEJUTKAN. AKU INGIN KE TEMPAT-TEMPAT YANG JAUH, MENJUMPAI BERAGAM BAHASA DAN ORANG-ORANG ASING. AKU INGIN BERKELANA, MENENTUKAN ARAHKU DENGAN BINTANG GEMINTANG. AKU INGIN MENGARUNGI PADANG DAN GURUN, INGIN MELEPUHG TERBAKAR MATAHARI, DIHGANTAM ANGIN, DAN MENCIUT DICENGKRAM DINGIN. AKU INGIN KEHIDUPAN YANG MENGGETARKAN. INGIN MERASAKAN SARI PATI HIDUP.......................................

Selasa, 28 April 2009

bahasa di otak kita



Indra bahasa manusia itu rumit dan misterius. Kita tahu bahwa kita diciptakan untuk menguasai bahasa sejak bayi, dan bahkan untuk menciptakan struktur bahasa dari bahan mentah yang relatif tidak ter-struktur atau kacau. Bayi bukanlah kertas kosong sehingga pengasuh bisa menuliskan aturan-aturan tata bahasa, melainkan kreator bahasa yang sangat aktif. Harus ada keadaan yang sangat luar biasa untuk mencegah para seniman bahasa kecil ini agar tidak mencapai tujuan mereka menyu-sun tata bahasa mental yang lengkap dalam tahun-tahun pertama kehidup-an mereka.

Jadi, bahasa adalah indra alamiah yang menyatukan semua manusia, menghasilkan satu perangkat aturan mental internal yang sangat halus dan rumit yang diperoleh tanpa sarana ins-truksi atau pendidikan formal. Tetapi, tetap saja ada perbedaan-perbedaan individual yang penting di antara kita. Orang yang lebih tua cenderung memiliki kosakata yang lebih banyak daripada mereka yang lebih muda. Pertumbuhan kosakata merupakan hasil akumulasi pengalaman umum yang kita asosiasikan dengan bertam-bahnya umur, dan tidak selalu bergan-tung pada ketajaman mental yang memungkinkan anak usia 20 tahun mengalahkan orangtuanya dalam permainan kalkulasi cepat. Dan kita semua tahu bahwa sebagian orang punya kosakata yang lebih banyak daripada rekan-rekan seumur mereka. Sementara ukuran kosakata mungkin tidak bergantung pada ketajaman mental, ia cenderung berkorelasi de­ngan ukuran-ukuran kecerdasan lain, misalnya kemampuan memanipulasi angka, memutar objek 3-dimensi dengan mata pikiran, dan melakukan operasi-operasi logika.

Sebab-akibat berlangsung bolak-balik di sini. Kosakata yang banyak merupakan hasil dari minat membaca dan mempelajari informasi baru yang menantang. Bayangkan, betapa ba-nyaknya usaha dan disiplin-diri yang dibutuhkan untuk membaca sebuah karya nonfiksi di New Yorker, atau sebuah artikel di Wall Street Journal, daripada yang dibutuhkan untuk mencerna salah satu tulisan tentang keripik kentang di tabloid supermarket.

Semakin banyak bukti yang men-dukung gagasan bahwa kemauan untuk menantang diri sendiri di bi-dang bahasa akan membantu mem-pertahankan sel-sel otak Anda. Dalam kajian yang dikenal sebagai "kajian biarawati" ditemukan bahwa para bia-rawati yang menggunakan gaya me-nulis yang relatif rumit sejak muda jauh lebih kecil kemungkinannya ter-serang penyakit Alzheimer daripadapara biarawati yang menulis dengan gaya kalimat lebih pendek dan seder-hana. Jadi, kemauan seumur hidup untuk menantang diri sendiri bergelut dengan struktur bahasa yang rumit dapat memberi dampak preventif ter-hadap penyakit Alzheimer.

Saat menua, kita cenderung meng-alami kesulitan yang semakin besar untuk memanipulasi susunan kalimat yang kompleks. Ini barangkali disebab-kan oleh mengikisnya kerja ingatan jangka-pendek. Jadi, akan semakin sulit untuk menganalisis kalimat, seperti: Meskipun Lisa telah selesai makan pastelnya, Budi tetap me-nolak iLntuk tidak memberi kesem-patan kepada Lisa menawarinya sepotong kue. Juga, semakin sulit untuk "menangkap" bacaan dari kali-mat yang "menyesatkan", seperti: An/ing yang berjalan di gang menggong-gong. (Kalimat yang "menyesatkan" adalah kalimat yang "menyesatkan" ketika Anda menguraikan kalimat tersebut kata-demi-kata. Saat sampai pada akhir kalimat, Anda sadar bahwa Anda pasti telah menganalisis kalimat tersebut secara keliru, dan Anda terdo-rong untuk menguraikannya lagi agar mendapatkan hasil lebih baik. Semua ini memberikan beban pada ingatan kerja Anda.)

Kemampuan ini, seperti semua kemampuan lain yang bergantung pada ingatan kerja, masuk dalam kategori "gunakan atau hilang". Bah-kan ketika masih remaja, kita akan kehilangan kemampuan kita dalam kalkulasi mental jika kita hanya meng-andalkan kalkulator mekanis dan bukannya otak kita. Sel-sel otak Anda dapat menumbuhkan dendrit-dendrit baru sepanjang hidup, jadi jangan putus asa. Tetapi, semakin lama Anda menunggu untuk meralat situasi itu, semakin berat jadinya.